Minggu, 08 Mei 2011

CONTOH TERJEMAHAN

The Missing Signal: How ecological prices change markets and decision making
 Asian and Pacific nations have become an engine of growth for the world economy. Yet they are increasingly vulnerable to environmental pressures and scarcities exerted by their growing economies and populations.  The region is dependent on a wide range of range of ecosystem services, including provision of food and timber, minerals, water capture and filtration, flood mitigation and regulation of rivers, precipitation and hydrological systems. These services provide an important form of capital for regional economies, and are becoming increasingly scarce. Yet there is increasing demand as regional economies and populations grow. The degradation of ecosystems continues because of a lack of explicit focus on the economic benefits that they provide. In standard markets scarcity increases prices, providing a signal to restrain use. But the signal is missing for ecological assets. Most of these assets have no standard market prices. Markets treat most natural resources and their services as free goods, since they were practically unlimited for many centuries. In a world economy where market prices measure economic progress, the missing signal puts at risk ecosystems services that are needed for human survival.
Ecological assets produce two distinct economic effects:  (i) products and services that have a standard market price such as wood and food, as well as products and services that that do not have a standard market price, also called (ii) externalities, which enhance or detract from welfare going over and beyond the market evaluation in conventional measures of GDP. An extreme example of (negative) externalities (ii) is the case of emissions of carbon that influence the stability of the climate, an important asset that by itself had no standard market price. The costs of carbon emissions cannot be evaluated directly because there are no standard market prices, but they produce a serious negative externality through the risks of climate change. Climate change has been called the worst market externality in the history of humankind (Stern, 2008).  How to correct the externalities?
Ecological pricing is the answer, and is the basis for achieving green growth. Ecological prices provide the missing signal. They make safer, renewable energy more profitable than fossil fuels. Ecological prices were achieved by the carbon market of the Kyoto Protocol of the United Nations, which was voted by 165 nations in 1997 designed by the author, and became international law in 2005. The carbon price that emerges from the KP carbon market (between $10 and $30 per ton of carbon emitted according to the EU ETS) is an ecological price. It represents a market value for the negative externality that carbon emissions cause to the world economy, and makes clean energy projects more profitable all over the world, enhancing investment and creating new jobs. The carbon market is now trading $165 billion annually at the European Union Emissions Trading System (EU ETS), and transferred $50 billion from rich to developing nations – mostly to Asian nations – for profitable, private projects involving clean energy and the reduction of carbon emissions (World Bank, 2006-2009).
The paper summarizes experiences where ecological prices have been successfully introduced at different scales -- such as global carbon markets and their impact on renewable energy, payments for ecosystem services in the Asia-Pacific region, and the sulphur dioxide (SO2) market that trades at the Chicago Board of Trade and reduced acid rain in the US. The carbon market goes much beyond increasing the price of fossil energy: it provides profit incentives for green growth by making renewable energy more profitable, increasing rapidly the production of renewable energy, and attracting capital for clean technology projects in developing nations.  It limits carbon emissions nation by nation, and allows over-emitting nations to compensate under-emitting nations while remaining within a reduced world cap on emissions. The equity issue is addressed in the KP by differential rights to emit assigned to rich and poor nations; the latter have more rights to emit because they have under-emitted historically and now are the ones suffering most risks from climate change.

Sinyal yang Tidak Ada: Bagaimana Harga Ekologi Mengubah Pasar dan Pengambilan Keputusan 
Negara-negara Asia dan Pasifik menjadi motor pertumbuhan buat seluruh dunia. Namun, Negara-negara tersebut semakin rawan terhdap tekanan dan kekurangan alam sekitar  yang terjadi karena ekonomi serta penduduknya yang semakin bertambah. Wilayah itu tergantung pada berbagai pelayanan ekosistem, termasuk pengadaan makanan dan kayu, sumber galian, pengumpulan air dan filtrasi, pengendalian banjir dan pengaturan sungai, hujan dan sistem hidrologi. Pelayanan ini merupakan suatu modal untuk ekonomi daerah tapi menjadi semakin langka. Sedangkan permintaan tetap meningkat karena ekonomi daerah serta jumlah penduduk terus meningkat. Degradasi ekosistem masih berlangsung karena tidak adanya fokus pada manfaatnya. Dalam pasar biasa kelangkaan membuat harga meningkat, yang merupakan isyarat bahwa pemakian harus dikurangi. Tapi isyarat ini tidak ada bagi asset ekologi. Kebanyakan asset tidak mempunyai harga pasar. Pasar umumnya menganggap sumber daya alam dan perayanan gratis karena selama beberapa abad jumlahnya hampir tidak terbatas. Di pasaran dunia di mana harga pasar menjadi pengukur kemajuan ekonomi, isyarat yang tidak ada  ini merupakan resiko bagi ekosistem yang diperlukan untuk kehidupan manusia.
Aset ekologi punya dua dampak ekonomi yang jelas: (i) barang dan jasa dengan harga pasar yang standar seperti kayu dan makanan, di samping barang dan jasa yang tidak ada harga pasar yang standard, juga disebut (ii) externalities yang membantu atau merugikan kesejahteraan di atas penilaian pasar diukur dengan GDP. Contoh yang ekstrem externalities (negative) (ii) adalah kasus emisi karbon yang mempengaruhi stabilitas iklim, sebuah aset penting yang tidak punya harga pasar standard. Harga emisi karbon tidak bisa diketahui secara langsung karena tidak punya harga pasar standard walupun dampak negatifinya pada perubahan iklim sangat serius. Perubahan iklim sering disebut sebagai externality pasar yang paling buruk dalam sejarah manusia (Stern, 2008). Tapi bagaimana ini bisa diperbaiki?
Penentuan harga ekologi (ecological pricing) adalah jawabannya dan juga dasar bagi pencapaian pertumbuhan hijau. Harga ekologi menyediakan isyarat yang tidak ada tadi. Ia lebih aman sebagai sumber tenaga daripada bahan bakar fosil. Harga ekologi yang ditentukan pasar karbon Protocol Kytoto PBB yang ditratifikasi oleh 165 negara pada tahun 1997 dirancang oleh penulis dan menjadi hukum internasional pada 2005. Harga karbon yang muncul dari pasar karbon KP (antara $10 dan $30 per ton karbon sesuai EU ETS) merupakan harga ekologi. In merupakan harga pasar dari externality negatif yang terjadi dalam ekonomi dunia karena emisi karbon dan berarti proyek tenaga bersih akan lebih menguntungkan di mana-mana di dunia yang akan menarik investasi dan menciptakan pekerjaan baru. Pasar karbon sekarang bernilai $165 milyar per tahun di European Union Emissions Trading System (Eu ETS) dan sudah menyalurkan $50 milyar dari negara kaya ke negara berkembang – kebanyakannya negara Asia – untuk proyek swasta di bidang tenaga bersih dan penguruangan emisi karbon (World Bank, 2006-2009).
Makalah ini meringkas pengalaman di mana harga ekologi sudah berhasil diperkenalkan dengan skala berbeda – misalnya pasar karbon dan dampaknya pada tenaga renewable, pembayaran untuk pelayanan ekosistem di wilayah Asia-Pasifik dan pasar sulphur dioksida (SO2) di Chicago Board of Trade yang mengurangi hujan asida di AS. Pasar karbon lebih dari meningkatkan harga bahan bakar fosil; ia juga menyediakan insentif bagi pertumbuhan hijau dengan membuat tenaga renewable lebih menguntungkan, meingkatkan dengan cepat pembuatan tenaga renewable, dan menarik modal bagi proyek tekonologi bersih di negara berkembang. Dengan membatasi emisi karbon negara demi negara, negara yang emisinya berlebih dapat mengimbangi negara yang emisinya kurang di dalam batas emisi dunia. Isu ekuiti diselesaikan KP dengan pemberian hak emisi berbeda pada negara kaya dan miskin; yang miskin lebih berhak karena selama ini emisinya kurang dan sekarang lebih menderita karena perubahan iklim.

<><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><> 
<><><><><><><><><><><><><><><><><><><><><> 
Menulis Kembali Sejarah Sumatera dengan Mempertimbangkan Gempa dan Tsunami
Semakin banyak waktu direnungkan, semakin tergantung sejarah manusia pada kebaikan bumi yang kita diami. Hanya perspektif sejarahwan moderen yang terbatas dan terobsesi oleh hal-hal  yang bersifat  moderen dan politis yang memungkinkan kita menulis seolah-olah manusia menjadi penentu nasibnya sendiri. Buku yang ada pada kita tentang Sumatera dan sejarahnya, termasuk oleh saya sendiri, hampir tidak menyebut intervensi alam yang dahsyat seperti gempa, tsunami, letusan gunung berapi serta keanehan iklim. Namun, kita tahu pasti bencana yang terus-menerus sejak tsunami di Aceh-Nias bulan Desember 2004 sampai gempa di Padang bulan September 2009 sama dahsyatnya dengan kejadian serupa yang terjadi dalam sejarah.
Kalau riset geologi baru digabungkan dengan pengetahuan sejarah tiga hal mejadi jelas:
 1. ‘Zona subduksi’ Sumatera merupakanj daerah berisiko tinggi pergeseran tanah dan tsunami karena gerakan lempengan tektonik.
 2. Abad ke 19 dan ke20 merupakan masa yang luar biasa tenangnya di zona subduksi ini.
 3. Masa terakhir dengan kejadian gempa yang sedahsyat masa sejak 2004 terjadi pada abad ke14 dan menjadi pemisah sejarah Hindu-Buddha dengan sejarah Islam.
Makalah ini akan membicarakan perubahan yang diperlukan dalam pemikiran sejarahwan Sumatra berdasarkan pengetahuan geologi ini.

Rewriting Sumatran history in the light of its earthquakes and tsunamis
The longer the time-depth considered, the more human history is dependent on the beneficence of the planet we inhabit.  Only the limited, obsessively modern and political, perspective of modern historians allows us to write as if humans were masters of their own destiny. The books we have on Sumatra and its history, including my own, are virtually silent about the dramatic interventions of nature through earthquakes, tsunamis, volcanic eruptions and climatic aberrations. Yet we know for a certainty that the disasters which have succeeded one another between the Aceh-Nias tsunami of December 2004 and the Padang earthquake of September 2009 had at least equally violent antecedents.
When we marry the new geological research with what can be known from history, three things in particularly become clear:
1.The Sumatra “subduction zone” is an acute area of risk for major earth movements and tsunamis as the tectonic plates grind together.
2.The nineteenth and especially the twentieth century was an unusually benign interval between shocks on the subduction zone.
3.The last phase that definitely equaled or exceeded in scale the critical events since 2004 occurred in the fourteenth century, and divided Hindu-Buddhist from Islamic history.
This lecture will consider some of the changes an awareness of geology will require of Sumatra’s historians.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar